Cerita libur: #1 Masa depanku adalah satu kamar dengan kekasih




Aku ingin memberitahu dulu. Tulisan ini aku buat sengaja untuk diriku, setelah dua bulan lamanya aku tidak lagi aktif menulis. Melalui blog sederhana milikku ini kiranya akan menjadi rumah tulisan-tulisan kecilku bermuara. Teman-teman semua boleh membacanya, dengan catatan teman-teman semua harus sadar bahwa blog ini tidak lebih dari bagian yang kubuat untuk menampung semua tulisan-tulisanku yang sedikit banyaknya tidak akan mempengaruhi apapun. Rencananya mengisi liburan ini aku ingin membuat cerita liburku dengan catatan-catatan kecil yang akan aku tulis di blog pribadiku. Apapun yang ada di kepala, akan aku tuliskan semua disini. Bisa jadi itu sangat indah, bisa jadi pula sangat kacau. Tidak untuk diperdebatkan pula. Begitulah kiranya aku mengawali tulisan ini. Siapapun yang membacanya, aku ingin mengucapkan terima kasih.

Terhitung dua bulan lamanya, menikmati libur semester panjang ini aku lebih banyak menghabiskan waktu di dalam kamar. Sudah tidak asing bagi Ibu dan Ayah untuk menyadari bahwa anak bungsunya ini cukup pengangguran dan berantakan, hehehe.  Ya, memang sejak kecil aku senang menghabiskan waktu di dalam kamar. Terlepas dari mereka di luar sana yang tidak mempercayai itu, bagiku tidak masalah. Toh benar adanya di dunia maya yang aku unggah hanya rekam-rekamku berkegiatan di luar rumah saja. Jadi ada benarnya juga, ketika orang-orang banyak menyanggahku ketika aku mengatakan bahwa dalam sehari aku banyak menghabiskan waktu di dalam kamar.

Bicara kamarku, tidak begitu megah. Tapi aku nyaman. Kamar kecil warisan kaka ini kini menjadi kamarku. Banyak kamar kosong di rumahku. Aku memilih kamar bekas kaka saja, paling depan. Dekat ruang tamu dan taman kecil depan rumah. Kamar ukuran tiga kali tiga ini sudah bertahun-tahun aku huni. Sudah beberapa kali aku cat ulang. Sudah tak terhitung berganti-ganti barang, posisi bahkan wanginya. Aku suka, aku sangat senang design interior, aku juga suka menerapkan konsep-konsep hidup minimalis. Minimalis disini aku proyeksikan untuk gaya hidup saja, urusan pikiran beda lagi. Aku tidak minimalis, aku cukup liar dan sedikit keras kepala. Mengertikah kamu maksudku ini?

Disini aku tidak akan munafik. Terbilang aneh barangkali. Alasan besarku setiap pulang adalah agar bisa berlama-lama di dalam kamar. Aku sudah hapal ritual-ritual kecil yang aku biasakan untuk menikmati waktu di kamar. Dari mulai menyapa perpustakaan mini, mengelap rak dan buku-buku yang berdebu, membersihkan meja belajar, mencorat-coret madding, membuat poster-poster, menulis lirik lagu favorit, melukis, bermain cat air,  karaoke, mendengar podcast ber jam-jam, berdandan, makan, ngopi, bahkan tak jarang melakukan cardio dan meditasi di dalam kamar. Aku merasa aku sangat ekstrovert, beda halnya ketika aku berada di luar kamar. Aku tidak memiliki banyak tenaga. Aku cukup pilih-pilih untuk bisa mengobrol. Aku takut meledak. Aku tidak begitu suka berada dalam obrolan yang cenderung muluk-muluk. Aku cukup pesimis. Kadang tak jarang, aku bisa diam seribu bahasa dan terlihat kaku ketika energiku terkuras. Kau tahu? Itu membuat kepalaku sakit. Dan itu membuatku sulit tertidur meskipun kondisiku sangat ngantuk dan lelah. Sudah berapa tablet ibuprofen yang kuminum agar kepalaku tidak nyeri. Sudah berapa antimo yang kuminum agar pikiranku lelah dan mudah tertidur. Tak terhitung. Itu menyiksaku.

Kadang aku berpikir, apakah aku ini lebay? Siapa yang ingin hidup dengan energi yang  terbatas. Kalau boleh nego, sudah aku koyak-koyak Tuhan ini. Tapi aku siapa? Songong sekali, toh Tuhan sudah ridho membagi-bagi energi pada hambanya. Kalau Tuhan saja ridho, begitupun aku ciptaanya harus ridho. Btw, ini ngapa jadi kesini ya. Skip!

Balik lagi ke kamar. Ku rasa kadang ia menjadi energi positif, kadang menjadi negatif dan sumber malapetaka. Bagaimana tidak. Aku kadang percaya tidak percaya bahwa kamar bisa mewakili kondisi mental (mood) seseorang. Di lain sisi, aku merasakan hal sama. Di waktu-waktu ketika kamarku sudah tak beraturan, mentalku pun sama ikut tak beraturan. Kamar yang biasanya menjadi hal yang menyenangkan tiba-tiba berubah menjadi ruang yang membuatku muak dan membosankan. Beda cerita ketika aku memulai pagiku dengan merapikan kamar, dengan sendirinya mentalku pun ikut rapi dan menyenangkan. Ini sangat lucu. Sejujurnya aku ingin juga mendengar cerita orang-orang dengan kamarnya. Tapi aku tidak punya cukup nyali. Pikiran-pikiranku sudah lebih dulu berprasangka bahwa orang lain akan menganggapku aneh. Sisanya pikiranku mengatakan bahwa orang lain akan mengira bahwa aku ini gila. Pasalnya, ketika orang lain diluar sana bicara resesi, iklim, dan korupsi. Aku ini malah bertanya korelasi mental dan kamar. Aku ini cukup pengecut, aku sibuk dengan pikiran-pikiranku sendiri. Aku suka, meski kadang ini sangat menjengkelkan.

Bahkan ketika bicara masa depan sekalipun. Yang kupikirkan adalah bagaimana kamarku kelak. Pikiran-pikiranku sudah mendesain sendiri bagaimana kamar ini nantinya akan menjadi tempat nyaman untukku dan pasanganku bertumbuh. Bagaimana kamar ini nantinya menjadi tempat yang menampung berbagai keresahan dan teman baik mencari solusi. Aku tidak suka ketika kamar hanya dimaknai sebagai ruangan tempat beristirahat, atau menjengkelkanya lagi hanya dijadikan sebagai alat pemuas berahi. Bagiku jauh lebih dari pada itu. Nyawa rumah adalah kamar. Aku selalu membayangkan di kamarku, kelak buku-buku kekasihku akan berada di rak yang sama dengan buku milikku. Aku dan ia berhak membacanya tanpa harus meminta izin. Di pagi mesra, kita akan membaca buku bersama. Aku ingin kekasihku tidur di pangkuan dan aku membacakan puisi-puisi Jokpin, puisi Aan, atau puisi-puisi Rumi dan Eyang Sapardi. Atau sebaliknya, aku ingin tenggelam dalam dada kekasih. Sementara bibirnya mesra membacakan puisi dan cerita-cerita.

Aku selalu percaya. Bahwa kamar yang baik akan selalu menuntun kita kepada hal yang baik pula. Menjaga kamar adalah bagian menjaga (menyayangi) diri. Aku ingin kamarku menjadi tempat tumbuh yang baik. Tempatku berbagi hari, tempat kekasihku bercerita. Bahkan bisa jadi, ranjang akan menjadi panggung bagi anakku yang ingin unjuk bakat bernyanyi “twinkle-twinkle little star” – Aku ingin buah hatiku bahagia, di tempat sederhana ini sekalipun. Bahkan aku sudah menghapal lagu “ambilkan bulan bu” – aku ingin menyanyikanya untuk buah hatiku, sembari mengusap rambutnya hingga ia terlelap. Aku tidak memiliki resolusi rumah tangga yang muluk-muluk, cita-citaku hanya itu. Sebab aku selalu yakin, hal-hal besar lahir dari hal-hal kecil yang sederhana. Aku memilih hal-hal kecil itu saja dan hidup bahagia di dalamnya.


Komentar

Postingan Populer