Cerita libur: #1 Masa depanku adalah satu kamar dengan kekasih
Terhitung dua bulan lamanya, menikmati
libur semester panjang ini aku lebih banyak menghabiskan waktu di dalam kamar.
Sudah tidak asing bagi Ibu dan Ayah untuk menyadari bahwa anak bungsunya ini
cukup pengangguran dan berantakan, hehehe. Ya, memang sejak kecil aku senang menghabiskan
waktu di dalam kamar. Terlepas dari mereka di luar sana yang tidak mempercayai
itu, bagiku tidak masalah. Toh benar adanya di dunia maya yang aku unggah hanya
rekam-rekamku berkegiatan di luar rumah saja. Jadi ada benarnya juga, ketika
orang-orang banyak menyanggahku ketika aku mengatakan bahwa dalam sehari aku
banyak menghabiskan waktu di dalam kamar.
Bicara kamarku, tidak begitu megah. Tapi
aku nyaman. Kamar kecil warisan kaka ini kini menjadi kamarku. Banyak kamar
kosong di rumahku. Aku memilih kamar bekas kaka saja, paling depan. Dekat ruang
tamu dan taman kecil depan rumah. Kamar ukuran tiga kali tiga ini sudah
bertahun-tahun aku huni. Sudah beberapa kali aku cat ulang. Sudah tak terhitung
berganti-ganti barang, posisi bahkan wanginya. Aku suka, aku sangat senang
design interior, aku juga suka menerapkan konsep-konsep hidup minimalis.
Minimalis disini aku proyeksikan untuk gaya hidup saja, urusan pikiran beda
lagi. Aku tidak minimalis, aku cukup liar dan sedikit keras kepala. Mengertikah
kamu maksudku ini?
Disini aku tidak akan munafik. Terbilang
aneh barangkali. Alasan besarku setiap pulang adalah agar bisa berlama-lama di
dalam kamar. Aku sudah hapal ritual-ritual kecil yang aku biasakan untuk
menikmati waktu di kamar. Dari mulai menyapa perpustakaan mini, mengelap rak
dan buku-buku yang berdebu, membersihkan meja belajar, mencorat-coret madding,
membuat poster-poster, menulis lirik lagu favorit, melukis, bermain cat air, karaoke, mendengar podcast ber jam-jam,
berdandan, makan, ngopi, bahkan tak jarang melakukan cardio dan meditasi di
dalam kamar. Aku merasa aku sangat ekstrovert, beda halnya ketika aku berada di
luar kamar. Aku tidak memiliki banyak tenaga. Aku cukup pilih-pilih untuk bisa
mengobrol. Aku takut meledak. Aku tidak begitu suka berada dalam obrolan yang
cenderung muluk-muluk. Aku cukup pesimis. Kadang tak jarang, aku bisa diam
seribu bahasa dan terlihat kaku ketika energiku terkuras. Kau tahu? Itu membuat
kepalaku sakit. Dan itu membuatku sulit tertidur meskipun kondisiku sangat
ngantuk dan lelah. Sudah berapa tablet ibuprofen yang kuminum agar kepalaku
tidak nyeri. Sudah berapa antimo yang kuminum agar pikiranku lelah dan mudah
tertidur. Tak terhitung. Itu menyiksaku.
Kadang aku berpikir, apakah aku ini lebay?
Siapa yang ingin hidup dengan energi yang
terbatas. Kalau boleh nego, sudah aku koyak-koyak Tuhan ini. Tapi aku
siapa? Songong sekali, toh Tuhan sudah ridho membagi-bagi energi pada hambanya.
Kalau Tuhan saja ridho, begitupun aku ciptaanya harus ridho. Btw, ini ngapa
jadi kesini ya. Skip!
Balik lagi ke kamar. Ku rasa kadang ia
menjadi energi positif, kadang menjadi negatif dan sumber malapetaka. Bagaimana
tidak. Aku kadang percaya tidak percaya bahwa kamar bisa mewakili kondisi
mental (mood) seseorang. Di lain sisi, aku merasakan hal sama. Di
waktu-waktu ketika kamarku sudah tak beraturan, mentalku pun sama ikut tak
beraturan. Kamar yang biasanya menjadi hal yang menyenangkan tiba-tiba berubah
menjadi ruang yang membuatku muak dan membosankan. Beda cerita ketika aku
memulai pagiku dengan merapikan kamar, dengan sendirinya mentalku pun ikut rapi
dan menyenangkan. Ini sangat lucu. Sejujurnya aku ingin juga mendengar cerita
orang-orang dengan kamarnya. Tapi aku tidak punya cukup nyali. Pikiran-pikiranku
sudah lebih dulu berprasangka bahwa orang lain akan menganggapku aneh. Sisanya
pikiranku mengatakan bahwa orang lain akan mengira bahwa aku ini gila.
Pasalnya, ketika orang lain diluar sana bicara resesi, iklim, dan korupsi. Aku
ini malah bertanya korelasi mental dan kamar. Aku ini cukup pengecut, aku sibuk
dengan pikiran-pikiranku sendiri. Aku suka, meski kadang ini sangat
menjengkelkan.
Bahkan ketika bicara masa depan
sekalipun. Yang kupikirkan adalah bagaimana kamarku kelak. Pikiran-pikiranku sudah
mendesain sendiri bagaimana kamar ini nantinya akan menjadi tempat nyaman
untukku dan pasanganku bertumbuh. Bagaimana kamar ini nantinya menjadi tempat
yang menampung berbagai keresahan dan teman baik mencari solusi. Aku tidak suka
ketika kamar hanya dimaknai sebagai ruangan tempat beristirahat, atau
menjengkelkanya lagi hanya dijadikan sebagai alat pemuas berahi. Bagiku jauh
lebih dari pada itu. Nyawa rumah adalah kamar. Aku selalu membayangkan
di kamarku, kelak buku-buku kekasihku akan berada di rak yang sama dengan buku
milikku. Aku dan ia berhak membacanya tanpa harus meminta izin. Di pagi mesra,
kita akan membaca buku bersama. Aku ingin kekasihku tidur di pangkuan dan aku
membacakan puisi-puisi Jokpin, puisi Aan, atau puisi-puisi Rumi dan Eyang Sapardi.
Atau sebaliknya, aku ingin tenggelam dalam dada kekasih. Sementara bibirnya
mesra membacakan puisi dan cerita-cerita.
Aku selalu percaya. Bahwa kamar yang baik
akan selalu menuntun kita kepada hal yang baik pula. Menjaga kamar adalah
bagian menjaga (menyayangi) diri. Aku ingin kamarku menjadi tempat tumbuh yang
baik. Tempatku berbagi hari, tempat kekasihku bercerita. Bahkan bisa jadi,
ranjang akan menjadi panggung bagi anakku yang ingin unjuk bakat bernyanyi
“twinkle-twinkle little star” – Aku ingin buah hatiku bahagia, di tempat
sederhana ini sekalipun. Bahkan aku sudah menghapal lagu “ambilkan bulan bu” –
aku ingin menyanyikanya untuk buah hatiku, sembari mengusap rambutnya hingga ia
terlelap. Aku tidak memiliki resolusi rumah tangga yang muluk-muluk,
cita-citaku hanya itu. Sebab aku selalu yakin, hal-hal besar lahir dari hal-hal
kecil yang sederhana. Aku memilih hal-hal kecil itu saja dan hidup bahagia di
dalamnya.
Komentar
Posting Komentar