tulisan macam apa ini




Ah, aku tidak tahu apa yang mestinya aku tulis. Sangat kaku, sudah lama aku tidak membuka blog kecil ini dan menulis segala hal yang tidak begitu penting seperti biasanya. 

Tidak banyak yang terjadi hari ini, sama sebagaimana hari-hari biasanya aku tidak banyak berpergian sebagaimana rutinitasku pada awal merantau, yang sedikit-sedikit mengeluh, menangis dan mudah merasa muak dengan keadaan yang tidak biasa. Ya, aku baru menyadarinya beberapa jam yang lalu, ketika jariku tidak sengaja membuka catatanku satu tahun lalu. Aku melihat diriku begitu emosional dan meledak-ledak, aku melihat diriku sangat egois dan menyedihkan. Aku hanya bisa tersenyum membaca diriku dalam catatan yang kutulis tahun lalu, rasanya sangat nano-nano dan sedikit menyebalkan. 

Di kursi sederhana, warung kopi sebrang tempat tinggalku kali ini, untuk pertama kalinya setelah sekian purnama aku merencanakan pergi ngopi sendiri; malam ini baru terealisasi. Senang, karena ngopi kali ini aku membayarnya dengan uangku sendiri. Dua bulan ini keberuntungan menyertaiku, tiga perlombaan yang kuikuti semuanya berhasil membawa namaku diposisi pertama. Dan itu tentunya membawa angin segar untukku lebih percaya diri. Perlu aku akui, sejak aku merubah do'aku, Tuhan juga merubah segalanya. 

Benar sekali, jika hidup adalah perjalanan bertumbuh. Aku membaca keadaanku tahun lalu sangat berbeda dengan hari ini. Beruntung, aku pernah mencatat perasaanku. Sebab karenanya, aku bisa membandingkan bagaimana progresku memaknai hidup yang sangat singkat ini. 

Aku percaya kekuatan catatan, tidak hanya membantu meregulasi emosi. Lebih dari itu, catatan membantu kita untuk mengenal "siapa kita dulu? dan hari ini?".  Aku menyebut ia sebagai jembatan penghubung antara aku dan diriku. Membuat kita sadar; bahwa pengalaman sangat membentuk kita hari ini. 

Terhitung sudah hampir dua bulan ini, aku lebih banyak menghabiskan waktuku seorang diri. Pergi ke kampus, membeli makan di warteg, masuk kelas, diam di perpustakaan, tidur di masjid, dan pulang ke asrama untuk tidur saja. Sungguh, ini adalah kebiasaan aneh yang aku temui dalam diriku di semester 6. Tetapi entah kenapa, aku sangat menyukai rutinitas ini. Aku senang menghabiskan waktu di perpustakaan yang sunyi, orang-orang sibuk dengan dirinya masing-masing, aku senang meski hanya diam disana menunggu bel tiba, perpustakaan akan segera tutup. 

Entahlah. Rasanya sudah cukup bagiku untuk selalu berpergian sebagaimana yang kulakukan di awal perkuliahan. Selain melatih untuk berhemat materi, aku juga berlatih menghemat emosi dan energi. Aku benar-benar kewalahan untuk berdialog dengan banyak orang sebagaimana yang sering kulakukan di awal perkuliahan. Rasanya sudah cukup, aku ingin pensiun membenci dan mengingat masa orientasi (OSPEK) yang menyebalkan itu. Cukup bagiku mengetahui syurga dan neraka pendidikan di kampusku. Cukup bagiku menjadi keras kepala. Hari ini, dan seterusnya aku hanya ingin melanjutkan hari-hari yang tidak akan lama lagi menyandang gelar sebagai mahasiswa. Di kepalaku hari ini yang sering berenang adalah pikiran tentang judul proposal skripsiku yang sudah tiga kali revisi. 

Haha. Aku sadar, pada akhirnya kita benar-benar akan sendiri. Solidaritas bagiku omong kosong, meski aku tahu dibeberapa orang itu tidak berlaku. Sebagai seorang mahasiswa jalang, aku merasa harus kuat. Konsekuensi menjadi mahasiswa yang tidak aktif, tidak punya relasi kampus, membuatku harus berjuang seorang diri, terseok-seok karena tidak punya orang dalam. Wkwkwkw. 

Bicara orang dalam rasanya itu sudah menjadi hal lumrah dalam keseharianku di kota ini. Sebenarnya integritas dan kredibilitas itu nomor kesekian, tetap yang utama adalah power orang dalam. 

Kali ini aku tersenyum sinis, teringat bahwa dulu aku sangat bermimpi menjadi presiden mahasiswa. Di kepalaku saat itu menjadi aktivis kampus adalah jembatan jitu yang mengantarkanku kepada banyak pengalaman dan pemahaman baru. Berbekal nyali saja, sebelum akhirnya benar-benar menjadi mahasiswa, kejadian demi kejadian mengantarkanku menjadi seseorang yang idealis dan sangat keras kepala. Impian menjadi aktivis kampus perlahan tidak ada dalam kamusku, terlebih ketika aku menyadari politik kampusku sangat seksi dan selalu memanas seperti neraka jahannam, oh tidak. Aku tidak ingin berada disana, aku ingin liar menjadi mahasiswa jalang yang bebas saja. Meski bebas dalam hal ini juga sangat dibatasi, karena polisi moral sangat besar nyali. 

Skip ! bicara kampusku tidak akan pernah selesai. 

Aku melatih diriku agar tetap stabil dengan menjadi mahasiswa kupu-kupu. Meski aku tahu, itu sangat bertentangan dengan tugas mahasiswa sebagai agen of change. Hiks, entahlah aku sangat muak dengan itu. Lebih muak lagi ketika melihat ruangan dosen yang sangat sempit, dan beberapa dosen tidak memiliki ruangan. Jangankan ruangan, kursi dan meja saja mereka tidak punya. Padahal sudah ber tahun-tahun mengajar. Shitt, kampus macam apa itu. 

Terlalu jauh rasanya jika aku selalu menuntut sarana dan prasarana dalam kelas, sebab sekelas tenaga pendidik saja belum merdeka untuk mengajar. Tidak sebanding dengan citra yang selalu ditampilkan di media sosial, rasanya menyakitkan sekali. 

Ah sudah, aku ingin mengakhiri tulisan ini dengan perasaan marah saja. Untuk apa selalu berpura-pura, kenyataan memang sepahit ini patrick. 









Komentar

Postingan Populer