Minimalisme, mengapa penting bagi kelangsungan hidup




Sebagai dasar pemikiran, seiring perkembangan zaman yang kian melesat, manusia merasa memiliki banyak barang, agar terlihat sempurna, bahkan untuk mencapai kebahagiaan tanpa batas.

Sedangkan, esensi dari hidup minimalis menurut Fumio Sasaki dalam bukunya berjudul Goodbye Things, yaitu hidup minimalis ala orang Jepang. Hidup minimalis menurut Fumio Sasaki, yaitu ketika seseorang telah benar-benar mengetahui apa yang penting bagi dirinya sendiri, dan mempertahankan hal-hal tersebut untuk dirinya. Lebih singkatnya, minimalis adalah sebuah pola pikir atau sikap bijak manusia, untuk mengontrol segala kebutuhan hidup terhadap barang pribadi, bukan sekadar keinginan semata. Jadi, hidup minimalis adalah upaya baru manusia modern, untuk mampu memprposionalkan barang yang dimiliki, dan mengurangi barang yang sebenarnya bukan kebutuhan.

Namun disadari atau tidak, iklan-iklan di media massa banyak mendorong manusia hari ini, untuk memaknai diri (identitas) melalui pakaian atau barang yang ber-merk (branded). Padahal, sejatinya perbedaan merk sekalipun tidak menjadikan pakaian yang dibeli lebih hangat, tas lebih kuat, atau mungkin menjamin hidup akan lebih glamor.

Tidak mudah menemukan manusia yang berpikir minimal di dunia massa, iklan-iklan menghujani tanpa henti, menambahkan pesan pada manusia bahwa sukses di ukur dari materi yang kita kumpulkan. Manusia banyak mengeksploitasi fakta bahwa membeli status lebih mudah, dibandingkan mendapatkanya dengan kerja keras.

Berapa banyak sering bicara;
“Lebih banyak lebih baik”
“Berpura-puralah hingga benar-benar berhasil”
“Sebuah pakaian menentukan pemiliknya?”

Semua frasa ini hendak mengatakan, bahwa semakin banyak barang yang dibeli, manusia akan bahagia. Padahal, tidak disadari atau tidak, semakin banyak barang yang dibeli, semakin banyak manusia dibuat repot oleh barang-barang tersebut; entah menambah uang kredit, Cicilan, hingga perawatan barang.

Sekarang, saya ingin mengajak rekan semua untuk melihat seberapa besar peran stres dibalik keputusan untuk membeli sesuatu. Pertama, manusia biasanya stres karena merasa tidak memiliki suatu barang, merasa tidak sanggup hidup tanpa barang yang ditawarkan iklan di media massa. Kedua, setelah begitu banyak uang, manusia seharusnya merawat barang baru tersebut. Karena pada dasarnya, setiap kali membeli sesuatu, manusia tidak hanya menambah jumlah barang, melainkan menambah pula tanggung jawab.

“Kita merasa tidak pernah punya cukup waktu; mungkin barang-barang kitalah penyebabnya” – Demikian ungkapan Francine Jay, dalam buku berjudul Seni Hidup Minimalis, halaman 17. Francine menulis, dan mengajak manusia untuk berhenti bersenang-senang, dan mengenang kembali manusia bebas, dan senangnya manusia saat hanya sedikit keterikatan dengan barang.

pasti ini bukan kebetulan, dulu memang hidup lebih sederhana; belum ada Cicilan PR, Cicilan kendaraan, atau aset lain, yang membutuhkan asuransi. Belajar, hidup menjalani, dan berkreasi, jauh lebih penting dari sekedar membeli barang. Dunia bagaikan taman bermain, dengan berbagai kemungkinan yang tak terbatas.

“Barang kita, sesungguhnya tidak begitu penting.” Jika “musik adalah jeda, diantara nada, maka hidup manusia juga seharusnya seharusnya jeda diantara barang”. Kesemrawutan bisa mengeksplorasi kreativitas, dan membuat hidup kurang harmonis. Sebaliknya, semakin banyak ruang yang dimiliki manusia, kesehariannya-pun mengarah pada hal-hal yang menyenangkan.

Kehadiran banyak barang berlebih, justru menurunkan kesenangan, karena sejatinya manusia sudah seharusnya menyadari, bahwa diatas langit selalu ada langit. Akan selalu ada orang yang memiliki barang indah, dan mahal.
Dari sikap inilah, mampu menumbuhkan rasa cukup dan syukur. Inilah cara yang disebut cara hidup minimalis, hal ini sangat berguna dan relevan dalam kondisi manusia modern hari ini.

Jika manusia mampu melihat bahwa diri-hidupnya tidak merasa kekurangan, dan menghargai apa yang dimiliki, maka manusia tidak akan lagi menginginkan hal yang berlebihan. Ia akan berfokus pada sesuatu yang sudah ada, dan tidak terus mengejar yang belum ada. Manusia seharusnya mampu melihat, ke atas-bawah, ke luar dan ke dalam diri.

Mungkin, dengan cara seperti itu, manusia akan merasa mawas diri; kurang jika dibandingkan dengan warga kaya di negerinya sendiri, tapi jika dibandingkan dengan banyak orang lain, di negara atau tempat lain, sesungguhnya kitalah yang sesungguhnya hidup berkelimpahan.

Dengan ini, apakah kita masih merasa kekurangan?

Komentar

Postingan Populer