Satu Januari




    
Pagi yang cerah, kuberikan peluk hangat pada tubuhku yang lemah. Setelah semalam pergantian tahun, rasanya tidak ada hal yang menarik satupun.

Dadaku masih sesak, pesanmu semalam sejujurnya belum siap jiwaku terima. Ku kira pada detik itu, seperti tahun-tahun sebelumnya kita selalu saling melebur, memeluk sisa-sisa usia, saling menyederhanakan, saling menguatkan, masih melekat pada mataku yang kali ini tampak layu, tak ingin beranjak pergi.

Tak mampu kupungkiri, ada hal-hal yang berbeda dari bibirmu yang hangat, dari matamu yang teduh, hari ini tampak asing, seperti dandelion yang kau tiup sekuat tenaga hingga hilang satu persatu. Akalku menerka – nerka, pada bait puisi-puisi yang sudah patah. Tapi hatiku, sekuat tenaga tak ingin menerimanya.

Semua terasa aneh, aku kehilanganmu perlahan.

Gontai langkahku melanjutkan perjalanan. Seperti biasa aku merindukan sepatah dua patah kata-kata tulus di bibirmu, tetapi kali ini sulit rasanya, sebab beberapa hal sudah terasa asing tak sehangat dulu lagi.

Pada beberapa pesan yang kau kirim, kau katakan padaku bahwa kau lelah, menjadi satu yang merasa berusaha sendiri. Sejujurnya, tubuhku sulit menerimanya. Tak ada upaya lebih, hari ini aku benar-benar kau buat patah, belajar memendam amarah, sesak sendiri, membendung air mata yang ingin segera pecah.

Seperti ilalang tertiup angin, hari ini aku kehilangan warasku. Tanpa maaf, tanpa terima kasih, dengan yakinmu yang bulat kau biarkan semua berakhir kalah di satu Januari. Sempurnalah deritaku, kau biarkan aku sendiri, kau biarkan aku kalah, tanpa kau beri kekuatan, kau biarkan aku patah.

Butuh waktu yang cukup lama, aku meyakinkan tubuhku untuk berjalan kuat. Amarahku membuncah, tapi aku lemah. Memori tentangmu mengikis denyut nadiku, kau pikir sembuh semudah membalikkan telapak tangan, Kasih?

Namun hidup terus berjalan, aku belajar lapang dada, menerima segala bentuk resah, bentuk patah, bentuk lelah secara terbuka. Kukirimkan kekuatan pada jiwaku yang mengering, kuberikan sisa-sisa kuatku agar semua bisa kembali kuat berjalan.

Hari demi hari, pekerjaan baruku adalah menguatkan diri. Berusaha mengajak bibirku yang kaku ini tersenyum, mengusap dadaku yang sesak ini lapang, mengajak kaki yang gemetar ini berjalan, mengajak hati yang kacau ini pulih.

Hari-hari berlalu, kubiarkan semua berjalan sesuai adanya. Tampaknya aku masih bisa melihat bahagiamu tanpaku dikejauhan. Saat ini bagiku lebih dari cukup, merindukanmu secara malu-malu masih sempat kuadukan pada Tuhan.

Hari tanpamu, tapi Tuhan mengabulkan inginku. Ia mengizinkanku mendengar jelas suaramu lagi, suaramu saat terbangun dari tidur yang masih menjadi suara favoritku, kubiarkan kau bercerita di pagi itu, kubiarkan waktu berjalan tak kupedulikan. Sampai saat itu, melalui pesan singkat kau katakan padaku akan beranjak pergi, ku izinkan karena aku tahu ada citamu ditempat itu yang segera ingin kau raih.

Berbeda denganku, kau tak butuh waktu lama lagi bertemu banyak manusia baru, tampaknya kau telah bertemu perempuan baru yang mampu menggantikan sosokku. Aku seperti dijatuhkan berkali-kali, aku yakin bahwa ini hanya mimpi, tapi benar adanya dadaku sesak lebih sesak dari satu Januari lalu.

Dengan tangan yang gemetar, ku kirim pesan selamat bagimu yang sedang merayakan cerita baru. Amarah sulit sekali kubendung, tapi aku lemah, tidak melakukan upaya lebih selain duduk dengan tatapan mata kosong penuh tanda tanya.

Entah kata apalagi yang pantas kuberikan untukmu, selain perasaan sesak yang terus dipendam kuat. Dimana nuranimu? Dimana akal sehatmu? Kau benar berubah, bukan lagi kau yang kukenal, Kasih.

Penuh haru, dan hampir kehilangan warasku saat itu aku menyempatkan mengadah pada langit agar air mata ini tidak segera jatuh ketanah. Tapi Tuhan tidak membiarkan aku sendiri, ia menundukan kepalaku dan memintaku menangis kalah dijalan pulang.

Aku benar menyerah, tak kuasa lagi memaksamu kembali. Tampaknya tidak ada lagi harap yang bisa kuberikan lagi, semua tampak perih, berdarah. Kau paksa aku lupa, kau paksa aku terima, kau biarkan aku sendiri, memeluk sisa-sisa bahagia yang pernah kita tanam di tempat ini, kau biarkan semua lenyap, tak tersisa.

Hari-hari tanpamu, Tuhan kembali menyadariku bahwa semua harus kembali indah.

Penuh usaha kubiarkan kau bahagia disana, kuterima semua lapang dada, kudoakan kau baik-baik disana. Semoga benar adanya, perempuan penggantiku benar-benar menjadi rumah untukmu pulang, menjadi peluk yang hangat untukmu saat lelah.

Kau tahu, Kasih? Perlu tenaga lebih aku menulis ini. Tapi siapa lagi yang akan mendengar laraku selain Tuhan, kertas dan kata-kata. Kalau ini benar maumu, silahkan pergi saja. Cukup aku melihatmu bahagia dikejauhan saja, relakan aku berlari, sebab sebagai manusia biasa perlu banyak waktu untuk kembali sembuh merawat hati yang layu. Sebab aku yang perlahan kau paksa pergi, akan selalu berjalan mundur, takkan pernah kembali lagi.

Terima kasih, telah menjadi puisi akhir yang paling menyesakkan. Tugasku berbagi kasih, menjadi rumahmu pulang telah selesai.  Sampai waktu yang menjawab, hingga akhirnya kau sadari tak semua yang pergi bisa selamat saat kembali.

 

Bandung, 1 Januari 2022

Perjalanan Pulang, 4 Januari

Tasikmalaya, 13 Januari 2022

 

 





Komentar

Postingan Populer