Kebaya dan Perempuan Sebagai Simbol Ketangguhan: Sebuah Narasi Tentang Identitas
Belakangan ini, libur semester di rumah kuisi dengan maraton film-film sejarah lokal di Netflix. Entah kenapa, gairah membaca yang biasanya menggebu malah menurun drastis. Rasanya ada saja alasan dan distraksi yang aku buat sendiri: bosan, pola tidur berantakan, hingga kebiasaan menatap layar ponsel terlalu lama—nonton YouTube, scroll TikTok, atau Instagram. Akhirnya, kepala rasanya penuh dengan informasi yang entah berguna atau justru mengganggu.
Daripada terus-terusan scroll TikTok yang durasinya cuma tiga menit, aku memutuskan berlangganan Netflix. Pilihan ini cukup langka, karena biasanya aku gampang bosan nonton film. Tapi kali ini berbeda. Aku mulai dengan menonton Soekarno, Sang Kyai, Kartini, dan Surat Cinta untuk Kartini. Dan, ya, film-film itu sukses bikin aku terpaku, kagum, bahkan menangis.
Mungkin karena aku ini orangnya cukup emosional. Tapi selain itu, aku suka sekali suasana Indonesia tempo dulu yang divisualisasikan dalam film-film itu. Ada sesuatu yang magis tentang perempuan berkebaya dengan sanggul rapi—entah kenapa, dari semua hal di film itu, kebaya selalu menarik perhatianku.
Dari situ, aku mulai merasa ada sesuatu yang istimewa dalam kebaya. Terlepas dari kehadiran Dian Sastrowardoyo sebagai pemeran utama di beberapa film itu, aku yakin kebaya selalu punya cara bercerita. Ia menjadi saksi perjalanan panjang perempuan Indonesia, penuh nilai sakral dan kebudayaan.
Kebetulan, bulan Maret ini aku cukup sering mengenakan kebaya, meskipun awalnya merasa canggung. Tapi setelah seharian memakainya, aku mulai merasakan vibrasi yang lain. Kebaya ini, entah bagaimana, seperti membangkitkan semangat dalam diriku—khususnya untuk mengenal lebih jauh perpaduan kebaya dan batik, yang sering dipakai perempuan Jawa.
Salah satu momen berkesan adalah ketika aku menghadiri pameran dan peluncuran film batik khas daerahku, Sukapura. Saat itu, seorang pengrajin batik berkata dengan mata berkaca-kaca, “Pengrajin batik hampir musnah.” Aku tidak bisa menahan air mata. Beberapa hari setelahnya, aku bertemu langsung dengan pengrajin itu. Dari dekat, aku melihat betapa besar ketekunan dan cinta yang ia tuangkan dalam proses membatik. Sungguh, ada hubungan emosional yang kuat antara pengrajin dan kain yang ia hasilkan.
Melihat batik tulis yang cantik ini, aku merasa iri pada mereka yang memilikinya—terlebih jika dipadukan dengan kebaya. Sebagai perempuan, aku bangga sekaligus terharu.
Membahas pakaian dan perempuan selalu menarik. Seperti kata Wilson dalam Hollows (2010), “Pakaian tanpa tubuh bukanlah pakaian.” Tubuh perempuan membutuhkan pakaian untuk perlindungan, sedangkan pakaian digunakan untuk berkomunikasi—mengungkapkan identitas dan relasi dengan masyarakat. Pilihan pakaian kita mencerminkan nilai budaya tempat kita hidup.
Dalam konteks kebaya, aku teringat pendapat Victoria Cattoni dalam eksibisi Reading the Kebaya (2003). Ia mengatakan bahwa kebaya bisa menjadi simbol kebebasan sekaligus belenggu. Kebaya membuka ruang refleksi perempuan tentang dirinya sendiri, sekaligus menampilkan nilai masyarakat tentang perempuan itu.
Hari ini, kebaya bukan hanya simbol tradisi Jawa, tetapi juga bagian dari gaya hidup modern yang multikultural. Aku pribadi menyukai kebaya bukan karena prasangka etnis tertentu, melainkan karena sejarah dan estetika desainnya yang sederhana tetapi penuh makna.
Sebagaimana Roach dan Eicher dalam Barnard (2009) katakan, manusia cenderung menjaga keseimbangan antara menyesuaikan diri dengan masyarakat dan menjaga identitas dirinya. Pakaian menjadi sarana untuk mengekspresikan identitas itu, sekaligus menegosiasikannya dalam kehidupan sosial.
Bagi aku, batik dan kebaya lebih dari sekadar pakaian. Ia menyimpan kenangan dan nilai historis yang layak dirawat. Aku suka memadukan kebaya modern dengan kain-kain lama dalam berbagai acara, menciptakan tampilan unik yang membawa nostalgia ke masa kini.
Sepertinya ini akan jadi tulisan yang random dan cukup rancu yang pernah saya buat saat bangun tidur sore tadi, chuaks!
Komentar
Posting Komentar