Kau aku adalah dua bulir hujan yang rindu kampung halaman

 





Malam ini, sekitar pukul 02:00 WIB dini hari aku terbangun dari tidur panjangku. Tidak banyak yang kulakukan, aku berjalan menuju meja belajarku, membuka laptop tua milikku. Jemariku hanya mahir membuka dokumen-dokumen lama, aku menemukan satu surat lama dari teman penaku. Sudah lama sekali, bahkan untuk menyebut siapa namanya saja aku sangat lupa. Separah itukah aku? 

Berkali-kali keningku mengkerut, rasanya sakit sekali. Sungguh, aku tidak bisa mengingat nama penulis surat ini. Yang kuingat ia hanyalah seorang lelaki bertubuh tinggi dan sedikit kurus, rambutnya panjang, ia memiliki hobi photography, dan sering bermain di sungai dan belantara daerah Sumatera Utara. 

Aku tidak bisa mengingat namanya, aku hanya mengingat wajahnya yang pernah ia kirimkan beberapa hari sebelum akhirnya ia memutuskan untuk menghapus seluruh akun media sosialnya. Aku mengerti sekali, ia adalah lelaki yang mudah lelah dengan kehidupan dalam gawai. Ya, ia sangat senang bermain di dunia nyata. Sebelum benar-benar selesai dengan dunia maya, ia mengirimkanku pesan cukup panjang yang didalamnya berisi rekomendasi buku-buku yang harus aku baca. Tentunya, itu membuatku sangat senang. Sesuatu yang selalu kunantikan, aku selalu senang mendapat rekomendasi buku. 

Melalui blog kecil milikku ini, aku ingin mengabadikan surat terakhir yang ia kirim. 


Medan Hari Ini

06.11.2020 | 16.07 - 17.36

     Hujan. Kotaku, hujan hari ini. Prakiraan cuaca BMKG tepat adanya. Semenjak pukul sebelas menjelang siang, perlahan sebahagian uap air itu, pulang kembali. Mula-mula, bentuknya seperti remah-remah kue kering. Perlahan memadat, membentuk bulir-bulir air. Semakin rapat, semakin erat. Menderas kemudian.

     Begitu rindunya, bulir-bulir air itu pulang ke asal. Merindu kembali pulang ke kampung halamannya; di sungai, laut, danau, dan atau lapisan mata air di dalam tanah. Tetapi di kotaku, sebahagian besar bulir-bulir air itu, tak kan pernah dapat menuntaskan kerinduan mereka. Tubuh mereka pecah, di gedung-gedung batu, rumah-rumah sunyi, badan jalan yang kasar hingga trotoar yang kejam. tubuh-tubuh pecah mereka itu, bergentayangan. Terperangkap di lubang jalan dan atau di parit-parit tumpat. Menggenang, ditikam sepi dan kekecewaan yang mendalam. Menunggu panas membakar tubuh mereka, hingga kembali menjadi uap, pulang ke awan, dengan keresahan yang tajam, sebab rindu kian sengit jadinya.

     Kotaku, tidak bersahabat pada tanah polos, tanaman perdu serta kemerdekaan hidup seluruh hewan. Hanya beberapa batang pohon yang dibiarkan hidup untuk merasakan kesengsaraan, di tengah atau di pinggir jalan. Kaki mereka dipasung semen. Akar-akarnya boleh jadi tersengal-sengal mencari sisa-sisa nutrisi di tanah kota yang kian meng-asam. sepertinya tikus, kecoa dan sedikit semut yang memperoleh kemerdekaan di kota ku ini. Selain cicak yang sudah menjadi binatang rumah, layaknya kucing dan anjing.    

     Pada sebuah bangku, di teras rumah, aku menyesap segelas teh rosella. memandang ke arah genangan air di jalan; rumah sementara bagi plastik bungkus makanan dan minuman. Tak banyak yang terjadi pada hidup ini hari, meskipun demikian, ketenangan adalah misteri yang sembunyi malu-malu. Dalam pikiran, dalam perasaan. Apa kabarmu? berulang pulang pertanyaan itu lahir dalam pikiran lalu pulang ke dalam perasaan. Apa kabarmu? Sungguh, yang abadi dalam pikiran adalah pertanyaan, yang paling nyata bagi aku manusia; adalah rasa. Aku tulis puisi sembunyi-sembunyi hari ini. Untuk kunikmati sendiri.

 

Ada

 

Ada miliaran kata di dalam buku-buku

kamus-kamus, hingga percakapan. Ada.

 

Ada miliaran kata hingga tak berhingga

dimana saja, sampai di dalam pikiran yang paling tersembunyi pun, Ada.

 

Tetapi ada kata-kata yang tak pernah ku jalin, tak pernah ku ucap.

Kata-kata, yang dapat membuat segala keadaan yang ada menjadi berbeda.


 kata-kata, yang bersemayam dalam penjara; pikiran kita.

 : Apa kabar?

    Aku menuduh diriku, menyembunyi perihal ketenangan, dalam keadaanmu. Bila baik, maka aku beroleh tenang, bila buruk, maka tenang ditikam resah. Seperti mengundi dengan anak panah. Aku hanya mampu menebak-nebak saja. Segala yang tak dapat ku selesaikan dalam pikiran, akan aku tunda memikirkannya.

    Kau membiarkanku menunggumu. Menunggu mu untuk menenangkan ku. Menunggu ku untuk menenangkan ku. Sebab ledakan rasa yang tiba-tiba, belum dapat kita kendalikan. Kau membiarkanku menunggumu, sebab kau tahu, berlari bukanlah keahlianku. Mengejar, bukanlah kemampuanku. Sebab aku tahu, semakin kukejar, semakin engkau jauh, semakin engkau hilang. 

    Ledakan rasa yang tiba-tiba, belum dapat kita kendalikan. Rindu tumbuh lalu berkembang biak seperti kelinci. Begitu cepatnya. Kau aku adalah dua bulir hujan yang rindu kampung halaman. Tentu kita tidak menginginkan, jatuh di kota ini.

Komentar

  1. Harmoni adalah hakikat dari kata, kata hanya media, sedang keterkaitan itu membuat yang ada menjadi ada menjadi nampak dan berwujud. Kerinduan yang luar biasa membuat cemburu orang yang membacanya, bagaimana busa dirindui seindah ini ?

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer