Kau aku adalah dua bulir hujan yang rindu kampung halaman
Malam ini, sekitar pukul 02:00 WIB dini hari aku terbangun dari tidur panjangku. Tidak banyak yang kulakukan, aku berjalan menuju meja belajarku, membuka laptop tua milikku. Jemariku hanya mahir membuka dokumen-dokumen lama, aku menemukan satu surat lama dari teman penaku. Sudah lama sekali, bahkan untuk menyebut siapa namanya saja aku sangat lupa. Separah itukah aku?
Berkali-kali keningku mengkerut, rasanya sakit sekali. Sungguh, aku tidak bisa mengingat nama penulis surat ini. Yang kuingat ia hanyalah seorang lelaki bertubuh tinggi dan sedikit kurus, rambutnya panjang, ia memiliki hobi photography, dan sering bermain di sungai dan belantara daerah Sumatera Utara.
Aku tidak bisa mengingat namanya, aku hanya mengingat wajahnya yang pernah ia kirimkan beberapa hari sebelum akhirnya ia memutuskan untuk menghapus seluruh akun media sosialnya. Aku mengerti sekali, ia adalah lelaki yang mudah lelah dengan kehidupan dalam gawai. Ya, ia sangat senang bermain di dunia nyata. Sebelum benar-benar selesai dengan dunia maya, ia mengirimkanku pesan cukup panjang yang didalamnya berisi rekomendasi buku-buku yang harus aku baca. Tentunya, itu membuatku sangat senang. Sesuatu yang selalu kunantikan, aku selalu senang mendapat rekomendasi buku.
Melalui blog kecil milikku ini, aku ingin mengabadikan surat terakhir yang ia kirim.
Medan Hari Ini
06.11.2020 | 16.07 - 17.36
Ada
Ada miliaran kata di dalam
buku-buku
kamus-kamus, hingga
percakapan. Ada.
Ada miliaran kata hingga
tak berhingga
dimana saja, sampai di dalam pikiran yang paling tersembunyi pun, Ada.
Tetapi ada kata-kata yang
tak pernah ku jalin, tak pernah ku ucap.
Kata-kata, yang dapat
membuat segala keadaan yang ada menjadi berbeda.
kata-kata, yang bersemayam dalam penjara; pikiran kita.
: Apa kabar?
Aku menuduh diriku, menyembunyi
perihal ketenangan, dalam keadaanmu. Bila baik, maka aku beroleh tenang, bila
buruk, maka tenang ditikam resah. Seperti mengundi dengan anak panah. Aku hanya
mampu menebak-nebak saja. Segala yang tak dapat ku selesaikan dalam pikiran,
akan aku tunda memikirkannya.
Kau membiarkanku menunggumu. Menunggu mu untuk menenangkan ku. Menunggu ku untuk menenangkan ku. Sebab ledakan rasa yang tiba-tiba, belum dapat kita kendalikan. Kau membiarkanku menunggumu, sebab kau tahu, berlari bukanlah keahlianku. Mengejar, bukanlah kemampuanku. Sebab aku tahu, semakin kukejar, semakin engkau jauh, semakin engkau hilang.
Ledakan rasa yang tiba-tiba, belum dapat kita kendalikan. Rindu tumbuh lalu berkembang biak seperti kelinci. Begitu cepatnya. Kau aku adalah dua bulir hujan yang rindu kampung halaman. Tentu kita tidak menginginkan, jatuh di kota ini.
Harmoni adalah hakikat dari kata, kata hanya media, sedang keterkaitan itu membuat yang ada menjadi ada menjadi nampak dan berwujud. Kerinduan yang luar biasa membuat cemburu orang yang membacanya, bagaimana busa dirindui seindah ini ?
BalasHapus